Indonesian Palm Oil News (IPO News) – The 2nd Global Forum for Sustainable Resilience (GFSR) atau Forum Global untuk Resiliensi Keberlanjutan ditutup pada hari kedua Asia Disaster Management and Civil Protection Expo & Conference (ADEXCO), di JIExpo Kemayoran, Jakarta. Mengangkat tema “Menavigasi Ketakpastian: Memajukan Ketahanan Berkelanjutan di Tengah Perubahan Dunia”, forum global yang menghadirkan berbagai perwakilan negara anggota ASEAN, perwakilan Uni-Eropa, dan negara lain seperti Republik Fiji, ini berusaha memberikan pemahaman dan aksi menuju pembangunan masyarakat yang berketahanan dan berkelanjutan dalam menghadapi meningkatnya risiko dan ketidakpastian. Kegiatan ini mendorong kolaborasi, inovasi, dan dialog kebijakan untuk memperkuat kesiapsiagaan bencana, meningkatkan kapasitas adaptif, dan mempromosikan pendekatan holistik terhadap pembangunan berkelanjutan. Penutupan GFSR ini juga sekaligus menjadi sesi memperingati 20 tahun tsunami yang menerjang Samudera Hindia, 26 Desember 2004
Sepanjang dua hari terselenggaranya acara GFSR, terdapat beberapa pembelajaran yang dapat dipetik dalam paparan dan berbagai diskusi dari berbagai pemangku kepentingan yang menjadi narasumber, diantaranya adalah:
- Dari pengalaman yang dialami Singapura, resiliensi berasal dari dua hal, yaitu “people” dan “system”. Masyarakat memerlukan sistem yang baik untuk diterapkan, begitu pula sebaliknya, sebaik apapun sistem tanpa ada masyarakat yang menjalankan akan percuma.
- Pencegahan dan penanganan bencana akan efektif bila dilakukan secara bersama oleh multi sektor. Pentingnya pembelajaran satu sama lain dalam gerakan kolaborasi ini, “Pengurangan Risiko Bencana (PRB) adalah garis hidup kita, dan tidak ada bangsa yang dapat menghadapi tantangan ini sendirian. Kerja sama internasional dan ketahanan yang berkelanjutan menjadi inti dari diplomasi kemanusiaan Indonesia.” jelas Retno Marsudi selaku Menteri Luar Negeri Republik Indonesia pada video sambutannya di pembukaan GFSR.
- Kompleksitas bukan lagi keadaan yang akan datang kita hadapi, melainkan saat ini sedang kita hadapi, dalam konteks ini diperlukan pendekatan yang praktikal dalam penanganan bencana, belajar dari bencana tsunami yang terjadi di Samudera Hindia pada tahun 2004 lalu.
- Di negara yang berpenghasilan rendah, terdapat banyak masyarakat yang tinggal di pedesaan yang rentan menghadapi kejadian bencana utamanya yang diakibatkan oleh perubahan iklim. Terdapat korelasi positif antara kemiskinan dengan kemungkinan terdampak terhadap akibat dari perubahan iklim.
- Meningkatkan resiliensi bisa dilakukan dengan meningkatkan kemampuan ekonomi. GFSR merupakan wadah yang tepat karena juga mengajak peran serta private sectors, yang mana sektor inilah yang berperan juga dalam menumbuhkan tingkat ekonomi.
- Perkembangan teknologi kini telah digunakan dalam pencegahan dan penanganan bencana, akan tetapi perlu dibarengi juga dengan peningkatan kemampuan orang yang menggunakan teknologi tersebut supaya penanganan bencana dapat dilakukan secara maksimal.
- Terdapat kebutuhan untuk negara-negara kepulauan untuk berkolaborasi bersama untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan untuk dapat mengambil pembelajaran dalam melakukan penanganan bencana.
- Ketika terjadi bencana, diperlukan koordinasi massa yang tepat dan bantuan dari militer yang berperan dalam mempercepat masa pemulihan paska-bencana.
Di akhir rangkaian kegiatan GFSR, Said Faisal selaku Penasihat Senior SIAP SIAGA (program Kemitraan Australia-Indonesia untuk Manajemen Risiko Bencana) menyampaikan, “Ada tiga hal penting yang perlu disoroti dalam semua diskusi yang telah dilakukan dua hari ini, yaitu Perubahaan Iklim, Resiliensi atas Kebencanaan, dan juga Pembangunan Berkelanjutan. Dengan berfokus pada tiga hal ini, ini menjadi momentum bagi kita semua untuk bisa berkolaborasi meningkatkan kemampuan dalam penanganan bencana. Bersama dengan berbagai pihak dari dalam negeri hingga mancanegara, dialog dan diskusi dalam forum terbuka seperti ini diperlukan sebagai upaya untuk meningkatkan kesadaran dan mendorong perubahan perilaku publik untuk sadar pentingnya pengetahuan akan kebencanaan.” Lebih lanjut, ia memberi harapan bahwa masyarakat semakin paham akan risiko bencana dan memiliki kesadaran penuh melakukan aksi pencegahan bencana.
Untuk menutup secara resmi, Penjabat Gubernur Aceh Dr. H. Safrizal ZA, M.Si menyampaikan pandangannya mengenang 20 tahun peringatan bencana tsunami di Samudera Hindia yang berdampak langsung pada Aceh. “Aceh kini menjadi tempat laboratorium tempat pembelajaran dunia untuk penanggulangan bencana alam dalam skala besar dan menjadi role model dari “Build Back Better”. Ke depan kami mengharapkan Aceh terus memainkan peran untuk menjadi pusat pembelajaran kelas dunia yang turut berperan dalam membangun ketangguhan bangsa untuk menghadapi bencana,” ucapnya di akhir GFSR, sekaligus mengajak seluruh masyarakat untuk bersama-sama memperingati bulan Pengurangan Risiko Bencana (PRB) Se-Indonesia yang akan diadakan di Aceh pada 8-10 Oktober 2024.
Beberapa poin penting yang ingin dicapai melalui pembelajaran 20 tahun peringatan bencana tsunami ini yang disampaikan oleh Penjabat Gubernur Aceh Dr. H. Safrizal ZA, M.Si antara lain:
- Kolaborasi dan kerja sama global menjadi kunci dalam kesuksesan rehabilitasi dan rekonstruksi.
- Kerja sama aktif antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan seluruh masyarakat dalam menghadapi potensi bencana serta memitigasi dan mengurangi risikonya.
- Memperkuat kesiapsiagaan bencana, terutama melalui investasi dalam ilmu pengetahuan, teknologi, dan inovasi;
- Pemerataan akses finansial dan transformasi teknologi untuk manajemen mitigasi bencana;
- Solusi pembangunan infrastruktur yang tangguh dan potensinya di tengah berbagai tantangan.
Di akhir sesi, Dr. Raditya Jati selaku Deputi Sistem dan Strategi BNPB menyimpulkan pemahaman dasar bagi masyarakat untuk bisa lebih sadar berpartisipasi dalam program edukasi bencana. “Bencana sebenarnya hanya disebut sebagai ‘Natural Disaster’ apabila itu menimbulkan kerusakan vital dan juga korban jiwa. Jika tidak, maka kita bisa menyebutnya sebagai ‘Natural Phenomenon’ saja. Disitulah pentingnya kita menyiapkan inovasi teknologi dan pembangunan infrastruktur yang berkelanjutan, karena dengan persiapan yang baik maka kita bisa menghindari yang ‘Disaster’ menjadi sekedar ‘Phenomenon’,” tegas beliau.
ADEXCO ini masih akan berlangsung hingga tanggal 14 September 2024 dan diharapkan dapat menyajikan solusi manajemen risiko bencana yang komprehensif, membangun kolaborasi lintas industri, serta menjadi wadah bertukar ide dan inovasi dalam teknologi mitigasi bencana, ketahanan infrastruktur, kebijakan dan regulasi, serta ketahanan rantai pasokan. Di hari ketiga dan keempat, akan dilaksanakan workshop USAID mengenai Diversifying and Greening of Humanitarian Supply Chain Workshop dan panel diskusi Building Inclusivity in Climate Resilience at City and Regency Levels yang diselenggarakan oleh ICLEI Local Government for Sustainability Southeast Asia.
Untuk berlangganan atau informasi lebih lanjut, hubungi: Marketing atau Email
Butuh Buku Riset? Silahkan kunjugi CDMI Consulting