Indonesian Palm Oil News (IPO News) – Langkah Kebijakan tarif Presiden Donald Trump muncul sebagai bagian dari langkah proteksionis Amerika Serikat untuk mengurangi defisit neraca perdagangannya dengan sejumlah negara. Meski kontribusi ekspor Indonesia ke Amerika Serikat tergolong kecil dibandingkan negara-negara seperti Cina, India, Korea Selatan atau Meksiko, Indonesia tetap dimasukkan dalam daftar negara yang dikenai tarif tinggi.
Presiden Amerika Serikat, Donald Trump mengenakan tarif impor hingga 32% untuk produk Indonesia mulai 9 April 2025, hal ini berpotensi menekan ekspor nasional, terutama sektor unggulan penyumbang surplus perdagangan. Lima sektor terdampak tarif, yaitu produk kelapa sawit, alas kaki, alat listrik, pakaian jadi, dan furnitur, menyumbang 51% dari total surplus perdagangan Indonesia dengan AS.
Menurut CEO IPO NEWS, Muslim M. Amin, Indonesia harus mengkaji ulang proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dan mempertimbangkan revisi suku bunga acuan Bank Indonesia (BI), mengingat dampak potensial dari tarif ini dan perlunya diversifikasi pasar ekspor. Kebijakan Trump tersebut berpotensi menekan kinerja ekspor nasional, terutama dari sektor-sektor unggulan Indonesia yang selama ini menyumbang surplus perdagangan dengan Amerika Serikat.
Menurut Amin, sejak tahun 2010, surplus perdagangan Indonesia dengan Amerika Serikat telah meningkat hampir empat kali lipat. Puncaknya terjadi pada tahun 2022 dengan nilai surplus mencapai US$ 16,6 miliar, sebelum akhirnya turun di tahun 2024 menjadi US$ 14,2 miliar. Pada periode yang sama, ekspor Indonesia ke AS mencapai US$ 26,3 miliar, sehingga menjadikan Amerika Serikat sebagai mitra dagang strategis meski kontribusinya terhadap total ekspor nasional masih di bawah 10%,
Disisi lain, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) memprediksi potensi stagnasi ekspor minyak kelapa sawit ke Amerika Serikat (AS) imbas penerapan tarif impor baru dari Presiden Donald Trump ke Indonesia. Menurut Ketua Umum Gapki, Eddy Martono ekspor sawit ke AS selama ini terus naik dalam lima tahun terakhir dari semula di bawah 1 juta ton per tahun hingga kini mencapai 2,4 juta ton. Menurutnya, imbas tarif 32 persen ke Indonesia, ekspor minyak sawit diprediksi akan stagnan.
Eddy menjelaskan tak semua produk minyak sawit bisa digantikan minyak nabati lain. Misalnya, margarin tidak bisa dibuat dari minyak kedelai karena secara kesehatan justru dilarang sebab dapat menyebabkan kanker.
Demikian juga dengan beberapa produk dari oleo chemical minyak sawit juga tidak bisa digantikan minyak nabati lain. Artinya, kata Eddy, minyak sawit tetap dibutuhkan, maka yang akan dirugikan sebetulnya adalah konsumen Amerika Serikat sendiri. Meski demikian, Eddy mengatakan pihaknya tetap akan mencari alternatif pasar lain di luar Amerika Serikat imbas dari kebijakan tarif Trump.
salah satu strategi yang dilakukan adalah selain penurunan beban di dalam negeri seperti Domestic Market Obligation (DMO), Persetujuan Ekspor (PE), dan Bea Keluar (BK), GAPKI juga harus mencari alternatif pasar yang lain, ujarnya.
Untuk berlangganan atau informasi lebih lanjut, hubungi: Marketing atau Email
Butuh Buku Riset? Silahkan kunjugi CDMI Consulting