Sertifikasi ISPO perlu digencarkan demi menjaga daya saing produk CPO Indonesia di pasar global.
Komoditas produk sawit dan turunannya tercatat masih menduduki lima besar produk ekspor unggulan Indonesia. Dari total nilai ekspor periode April sebesar US18,03 miliar, CPO dan turunannya masih menyumbang nilai USD1,38 miliar pada periode tersebut.
Di tengah pelambatan perekonomian global dan terjadinya restriksi, pemerintah dan pelaku usahanya perlu segera melakukan inovasi dan diversifikasi pasar. Langkah itu dilakukan demi tetap mempertahankan produk sawit dan turunannya sebagai produk unggulan Indonesia.
Salah satu strategi yang ditawarkan Kementerian Pertanian sebagai pengampu komoditas tersebut adalah disiapkannya strategi untuk mempertahankan eksistensi komoditas itu sebagai produk unggulan. Disampaikan Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan (PPHP) Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian (Kementan) Prayudi Syamsuri, Indonesia perlu mempertahankan dominasi produk unggulan itu lewat sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO), sebagai atribut perdagangan sawit di dunia.
“Sertifikasi ISPO perlu digencarkan lagi sehingga produk CPO Indonesia bisa tetap bersaing di pasar global,” ujar Prayudi, dalam satu diskusi bertema “Sertifikasi ISPO bagi Pekebun Sawit Swadaya”, yang digelar Kamis (25/5/2023).
Menurutnya, ISPO merupakan persyaratan legal bagi pekebun yang bisa menjadi solusi guna memenuhi aturan antideforestasi Uni Eropa (UE) terhadap produk sawit. Sejauh ini, UE sebagai salah satu importir minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dari Indonesia telah memberlakukan berbagai aturan ketat terkait deforestasi.
Oleh karena itu, Prayudi menyarankan, perlu langkah konkret agar CPO Indonesia tidak terkena aturan tersebut. Prayudi menyebutkan, ada empat hal yang harus dilakukan untuk memenuhi aturan baru Uni Eropa yang berlaku efektif bulan ini.
Pertama, perlu dorongan penyelesaian legalitas petani. Kedua, petani harus mendapatkan dukungan fasilitas dalam proses sertifikasi ISPO. Ketiga, perlu ada upaya penyelesaian konflik dalam izin perkebunan sawit. Keempat, pengakuan hak masyarakat adat harus dipercepat.
Selama ini, Indonesia menghadapi tantangan dalam memenuhi persyaratan legal di perkebunan sawit petani swadaya. Jadi bagaimana sebenarnya kondisi industri sawit dan sertifikasinya?
Data Kementerian Pertanian menyebutkan, dari total 6,7 juta hektare kebun sawit rakyat pada 2022, baru 32 sertifikat ISPO yang dikeluarkan untuk pekebun.
Di sisi lain, pemerintah menargetkan penyelesaian sertifikasi ISPO bagi pekebun pada 2025. Namun, tentu sertifikasi produk sawit tidak semulus yang dibayangkan. Masih banyak kendala yang harus diselesaikan agar produk sawit Indonesia yang berkelanjutan dan berdaya saing di pasar global.
Beberapa masalah yang masih menjadi kendala soal pengembangan produk sawit yang berkelanjutan di antaranya adalah masalah legalitas lahan sawit rakyat yang berkaitan dengan adanya indikasi izin sawit dan tutupan sawit yang berada di kawasan hutan.
Selain itu, Prayudi menegaskan, masih terdapat banyak konflik dan klaim tenurial dari masyarakat adat dan lokal terkait perkebunan sawit.
Dalam kesempatan yang sama, Head of Program Operation Solidaridad Billy M Hasbi mengatakan bahwa ada lima faktor yang menjadi hambatan dan tantangan dalam proses pendampingan ISPO bagi pekebun swadaya. Pertama, keterbatasan akses terhadap informasi mengenai ISPO bagi pekebun sawit swadaya.
Kedua, belum sesuainya legalitas lahan pekebun sawit swadaya. Ketiga, perbedaan penafsiran persyaratan sertifikasi seperti Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB), Benih Bersertifikat, Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Lingkungan Hidup (SPPL), dan sebagainya.
Keempat, kompleksitas proses sertifikasi ISPO. Sedangkan faktor terakhir atau kelima adalah insentif bagi pekebun swadaya setelah mendapatkan sertifikasi ISPO.
Hasbi mengatakan, Solidaridad melalui proyek reclaim sustainability palm oil, bekerja sama dengan Gabungan Perusahaan Perkebunan Indonesia (GPPI) dan Direktorat Jenderal Perkebunan, merealisasikan program pendampingan ISPO bagi petani sawit swadaya melalui Resource Center Oil Palm Smallholder (ReCops).
Hasbi juga mengungkapkan, ReCops merupakan pusat sumber daya atau platform yang menyediakan informasi, bantuan, dan dukungan khusus bagi petani kelapa sawit skala kecil. “Tujuannya adalah memberdayakan dan membantu petani kelapa sawit skala kecil dalam praktik yang berkelanjutan dan bertanggung jawab. (Selain itu) meningkatkan penghidupan mereka, serta mempromosikan keberlanjutan sosial dan lingkungan dalam industri kelapa sawit,” tutur dia.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Manurung berpendapat, Indonesia tak perlu reaktif usai UE menerapkan European Union Deforestation-Free Product Regulation (EUDR) atau UU Antideforestasi. Diketahui, selama ini Indonesia merupakan produsen minyak sawit terbesar, sekaligus pengonsumsi CPO terbesar di dunia. Pada tahun lalu, produksi CPO Indonesia mencapai 46,7 juta ton, dengan 20,97 juta ton atau 44,8% dikonsumsi oleh dalam negeri. Sedangkan, 25,73 juta ton diekspor tujuan 242 negara.
“Harusnya berpijak dari data ini Indonesia bisa percaya diri dengan ancaman Uni Eropa dengan menerbitkan EUDR,” ujar Gulat.
Pada tahun lalu, papar Gulat, impor CPO dari Uni Eropa adalah 2,05 juta ton atau 2 juta per tahun–3 juta ton per tahun dalam lima tahun terakhir. Selain itu, kata dia, EUDR mirip dengan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) lantaran konstruksi aturannya hampir sama, meski ada biaya tambahan untuk mendapatkan sertifikasi EUDR.
Produksi CPO Indonesia yang sudah RSPO mencapai luas 1,14 juta hektare dengan produksi CPO sebesar 5,76 juta ton. Sedangkan yang sudah ISPO seluas 5,78 juta hektare dengan produksi 22 juta ton. “Jika melihat impor Uni Eropa yang hanya 2–3 juta ton, maka sangat sederhana menjawabnya khusus untuk Uni Eropa dapat disuplai dari CPO yang sudah ber-RSPO atau ISPO dari GAPKI atau DMSI (Dewan Minyak Sawit Indonesia), clear,” jelasnya.
Saat ini, Indonesia membutuhkan strategi khusus karena yang dilakukan UE tidak lebih dari politik dagang. Menurutnya, strategi paling utama yang bisa dilakukan adalah menaikkan konsumsi CPO dalam negeri dari 44,8 persen dari total produksi CPO sebanyak 47 juta ton pada 2022.
Idealnya, konsumsi dalam negeri berada di kisaran 60 persen–75 persen dari total produksi. Per 16 Mei 2023, UE telah memberlakukan EUDR yang mengatur perdagangan komoditas bebas deforestasi.
Dalam kebijakan baru tersebut, eksportir boleh menjual produknya apabila telah melewati uji tuntas guna memastikan produk tak berasal dari lahan yang mengalami degradasi atau deforestasi.
Sumber : © Indonesia.go.id